Graffity merupakan seni yang gak resmi, namun di balik itu Graffity merupakan seni yang sangat indah dan menurut saya tidak ada duanya. Namun graffity kebanyakan di cap oleh masyarakat sebagi seni kegelapan di mana pembuatnya di cap sebagai seorang kriminal walaupun begitu ada juga yang menyukai graffiti. Membuat Graffity itu membutuhkan banyak modal seperti, membeli pilox dan membeli cat. Namun hal tersebut bukanlah menjadi suatu Kendala yang jadi kendala adalah antusias atau partisipasi masyarakat ada yang menolak kehadiran Seni ini, yach kami pun sebagai para Bomber hanya bisa berharap supaya masyarakat bisa menghargai karya kami, bagi para Bomber membuat graffity merupakan kepuasan tersendiri. Adai saja Pemerintah dapat ikut berpartisipasi. Namun selama pengalaman saya jadi seorang Bomber banyak masyarakat yang menghargai dan menyukai hasil karya saya bahkan ada yang meminta saya untuk membuat graffity di rumahnya atau pun di kamar. Jadi kesimpulannya tidak semua golongan masyarakat yang tidak menyukai seni dinding (graffity). Ayolah kita dukung terus para Bomber di Indonesia agar hasil karya mereka dapat memperindah kota. Beraksi di malam hari, Pylox dan cat tembok adalah senjata mereka. Ini dia para pelukis kota! Akhir-akhir ini banyak banget lukisan jalanan yang dibuat di tembok jembatan layang, tembok samping rumah, tembok pembatas lahan tidur, sampai rolling door toko yang sudah tutup. Tulisan itu kadang berbentuk huruf dengan menggunakan cat semprot atau cat tembok. Kadang tulisan itu merupakan campuran huruf dan gambar. Yang pasti, karena warnanya sangat mencolok, lukisan tadi jadi menarik perhatian para pengguna jalan.Itulah graffiti yang belakangan lagi subur pertumbuhannya. Seperti enggak bisa melihat “lahan kosong”, setiap minggu ada saja tulisan graffiti baru menyapa kita di jalan.Walaupun kadang tulisannya hanya berbunyi nama kelompok dan nama orang, graffiti juga bisa membuat kita terkagum-kagum karena bentuk-bentuk hurufnya yang atraktif. Malah kadang kita enggak mampu membaca tulisan itu gara-gara terlalu susah untuk dieja.Ternyata di balik semua keindahan itu, para pelukis graffiti (sering disebut bomber atau writer) di kota-kota besar dan Jakarta pada khususnya, menyimpan cerita sedih, seru, sekaligus menegangkan pada waktu pembuatannya. “Gue enggak tahu kenapa graffiti sering dilarang. Padahal itu kan seninya tinggi. Daripada tembok di Jakarta dipenuhi sama coretan nama gang sekolahan yang enggak jelas. Dengan begitu, tidak ada petugas keamanan yang bisa menghalau mereka. “Biasanya sih yang ngusir kita tuh Polisi Pamong Praja. Kalau ketangkap, paling kita disuruh bersihin karya kita pakai cat putih, terus dibawa sebentar ke kantor polisi,” katanya lagi. Bayangkan kalau kita lagi terjebak di kemacetan kota. Entah itu di kolong jembatan atau di samping tembok panjang. Terus di samping kiri-kanan terpampang graffiti dalam berbagai bentuk. Nah, para bomber tadi sih maunya menjadikan karya-karya tuh sebagai penyegaran mata. “Kan enak, lagi macet sambil melihat graffiti. Kesannya lagi di galeri lukisan gitu. Terus mereka juga bisa nilai karya siapa yang paling bagus. Jadi biarlah para pengguna jalan menjadi juri,” kata Dhika, salah seorang bomber yang ditemui Tim Muda pas sebelum beraksi. Operasi “pengeboman” selalu dilakukan lewat tengah malam. Beberapa hari sebelumnya mereka pasti melakukan survei lokasi. Hasil check spot tadi bisa berbuah dua hal. Mereka bisa menemukan spot baru, atau mereka malah menemukan spot karya mereka perlu diperbarui. Jakarta, untuk melihat lokasi pengeboman malam itu. Isi pesan sebagian besar graffiti crew di Indonesia, khususnya Jakarta mungkin masih bersifat tagging crew alias cuma menonjolkan nama kelompok demi kepopuleran. Nama-nama kru disemprot dalam berbagai bentuk yang bisa menimbulkan decak kagum karena keindahannya.
Mural dan Lingkungan
Mural bila dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka mural mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan kota. Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta tingkat kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa dihubungkan dengan memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’ akibat padatnya pengguna jalan raya, tingginya pemilik kendaraan bermotor hingga kemacetan yang terjadi. Begitu pula dengan lingkungan yang tidak seimbang akibat penebangan pohon yang sebenarnya difungsikan sebagai paru-paru kota menambah panasnya hunian serta tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian dimanfaatkan oleh mural dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk menangkap kesan estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan kota, papan iklan maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
Dalam politik kota yang semrawut, mural berbicara untuk melukis dinding kota yang tidak terawat, kotor nan sangat kumuh dengan sentuhan estetika (seni). Hal ini menunjukkan kegelisahan para perupa kontemporer untuk mencari kaitan antara wacana seni rupa dan kehidupan kota sebagai representasi keseharian. Kota sudah memasuki fase pelupa. Pada saat yang sama kota telah berubah menjadi rimba tanda-tanda yang mengubur sejarah kotanya sendiri dan kota tidak lagi sarat dengan kenangan lama yang menjadi saksi berkembangnya kota dari hari ke hari. Hal inilah yang menjadi dasar alasan yang kuat mengapa mural dilakukan dan mengapa pula mural sebaiknya tidak dipakai sebagai alat promosi sebuah produk.
Sekedar perbandingan saja, di Jakarta mural dalam perkembangannya tidak lagi dibuat oleh seniman namun justru oleh masyarakat sendiri. Mereka mengerjakan mural itu di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Terkesan mural di Jakarta bahkan seperti gerakan massal yang memaksa pihak biro iklan harus memutar otaknya lagi untuk memasang poster iklan, karena ternyata ruang publik itu sudah kembali ke masyarakat sendiri.